Diskusi apa pun mengenai sepak bola dunia, menurut Richard Giulianotti, harus dibuka dengan pengakuan akan daya tarik permainan global ini. Meskipun sudah lazim mengatakan demikian, tak dipungkiri, menurut dosen Sosiologi di Universitas Aberdeen ini dalam buku Sepak Bola Pesona Sihir Permainan Global (2006), asosiasi sepak bola merupakan olahraga utama dunia. Tak ada bentuk budaya popular lain seperti sepak bola yang dapat menimbulkan gairah parsipatoris dan luar biasa di antara pemujanya.
Mulai hari ini hingga satu bulan ke depan, ”pesona sihir” itu memusat di Afrika Selatan, negeri yang pernah dikecam karena politik apartheid-nya. Sama seperti pada 18 perhelatan sebelumnya, Piala Dunia diyakini sebagai The Greatest Show On Earth, mengetengahkan pengakuan akan magnet sepak bola, dibarengi analisis mengapa olahraga ini menyihir keterpesonaan manusia, membetot konsentrasi yang mampu menyatukan energi positif - negatif, menenangkan partai berkuasa dan oposisi, mengharmonikan perbedaan, dan meniadakan sekat sosial dalam tema Football Without Frontier.
Beragam telaah sosiologis, psikologis, dan filosofis mengenai anatomi dan dinamika pergerakan sepak bola, pada sisi lain justru makin menguatkan ”misteri” tentang magnitude-nya: mengapa berdaya tarik. Tentang kekuatan penyatuannya: mengapa bertenaga global. Tentang ketergerakan naluri tribal manusia: mengapa merepresentasikan tenaga ”kesukuan”, dan seterusnya.
Giulianotti mengajukan telaah tentang daya tarik sepak bola lewat berbagai kertas ilmiah sejak 1989. Secara cermat ia mengamati perilaku manusia, termasuk nafsu tribalitas lewat holiganisme. Ia meneliti kecenderungan-kecenderungan di Skotlandia, Inggris Raya, Eropa, sampai ke Amerika Latin.
Para peneliti sepak bola umumnya tidak memisahkan permainan ini dari sisi-sisi kehidupan nyata manusia karena yang berlangsung di sebidang tanah berukuran lapangan bola hakikatnya adalah refleksi utuh sikap-sikap di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk ketika Desmond Morris lewat The Soccer Tribe (1981) menganalogikan sepak bola sebagai ekspresi naluriah manusia tentang hidup kesukuan, dan ”permainan” itu merefleksikan sebuah ”perburuan”.
Sepak bola telah diorganisasi secara modern, dikelola dengan manajemen bisnis sangat rapi dan profesional. Kompetisi-kompetisi di berbagai negara telah menjadi entitas bisnis, bukan hanya olahraga, membangun perkelasan baru bagi para pelakunya.
Para manusia sepak bola profesional berada di kelas kehidupan tersendiri, setidak-tidaknya sebagai selebriti dengan status yang berbeda dari manusia kebanyakan, walaupun pelatih terkemuka Jose Mourinho pernah menyebut mengenai ”perbudakan modern” ketika bawah sadarnya menganalogikan pilihan yang harus dihadapi oleh William Gallas dan Cristiano Ronaldo: kapan harus bermain untuk klub, kapan memenuhi panggilan tim nasionalnya.
Para bintang bola itu seolah-olah berada di panggung yang jauh, wilayah yang tak lagi tersentuh. Namun orang dari berbagai pelosok dunia hapal di luar kepala nama-nama ini: dari Di Stefano, Puskas, Garincha, Pele, Beckenbauer, Cruyff, Platini, Zico, Gullit, Zidane, hingga Drogba, Kaka, Ronaldo, Messi, dan Rooney. Tak sedikit yang bahkan lebih paham pernak-pernik kehidupan pribadi para bintang itu ketimbang menyebut nama para pemain top dari negerinya sendiri. Tuah interaksi global melalui lompatan teknologi informasi telah mengonstruksi tatanan baru persepsi manusia tentang apa yang ada di sekelilingnya dan di jauh negerinya. Daya mediatika mendekatkan wilayah yang jauh itu ke ikatan persepsi.
Maka mudah dijelaskan mengapa kita di Indonesia menunggu putaran final di Afrika Selatan lebih bergairah dibandingkan dengan hasrat terhadap Indonesia Super League. Tesis Giulianotti tentang gairah parsipatoris menemukan jawaban dari contoh ini.
Sebuah antitesis menyentuh pengelolaan sepak bola kita ketimbang penguatan tesis dari wilayah global. PSSI seperti mengonstruksi dialektika dengan jawaban tersendiri bagi tren manajemen sepak bola sebagai entitas bisnis. Yakni, mengelola sepak bola dengan pendekatan politik.
Itulah cermin besar jagat politik yang memantul ke jagat sepak bola. Jagat makro ke jagat mikro. Lihatlah bagaimana peraturan ”ditegakkan”, bukankah lebih mirip dengan gejala-gejala mafia di dunia penegakan hukum kita? Keputusan-keputusan Komisi Disiplin dengan enteng dimentahkan oleh Komisi Banding seperti dalam ending ruwet Kompetisi Indonesia Super League antara Persebaya Surabaya dan Persik Kediri. Contoh kesilangsengkarutan hukum terlalu banyak untuk dipaparkan di ruang kecil ini.
Semua mengikuti daya tarik permainan ini. Sesederhana itu: 22 orang berebut sebuah bundaran di sebidang lapangan. Tetapi di dalamnya termaktub penegakan hukum (rule of the game) dan kualitas aparatnya, adu kebugaran, kecerdasan, skill, taktik permainan, yang semuanya dibingkai oleh kreativitas manajemen bisnis. Apakah itu memosisikan Messi, Rooney sebagai aktor atau budak, yang kita pedulikan ternyata hati benar-benar tenggelam di dalam pelukan keindahan olahraga ini... (sumber:suaramerdeka)
PELUANG USAHA :
Kediri 99out of 100 Review of : VivaPersik Jumlah Voting : 9999 Orang. Kediri Kuliner Prediksi Bola Jersey