Ketika itu, 19 Mei 2004, Ahn bersama timnya klub Jepang Yokohama F. Marinos, tengah melawat ke Kediri untuk melakoni laga penyisihan grup Liga Champions Asia melawan Persik. Dan, saya bersama beberapa wartawan saja diberi waktu khusus mewawancarai pemain yang diusir dari klub Italia Perugia setelah mencetak gol kemenangan Korea Selatan atas Italia dibabak 16 besar Piala Dunia 2002 tersebut.
Ahn tak menjawab pertanyaan saya. Lebih tepatnya, barangkali, tak bisa menjawab. Dia hanya menggeleng sembari sedikit tersenyum. Wajar. Untuk seorang pemain yang ketika itu dibayar USD 500 ribu (sekitar Rp 4,2 miliar dengan kurs saat itu) per musim, Kediri ribuan tahun cahaya bedanya dengan Seoul, Yokohama, atau Perugia sekalipun.
Tapi, justru di situlah poinnya. Sepak bola bisa mendatangkan kebanggaan tak terkira untuk kota seperti Kediri. Sebuah kota yang tak punya bandara dan jarak dari ibu kota provinsi masih tiga jam perjalanan darat.
Sepak bola yang bisa membuat warga Kota Tahu itu, ketika menghadapi orang yang kesulitan membayangkan letak geografis Kediri, tinggal bilang, “Itu tuh kota yang dua kali menjuarai Liga Indonesia.”
Ya, dua kali. Lebih banyak dari Persija Jakarta atau PSM Makassar dan sejajar dengan Persib Bandung serta Persebaya Surabaya. Dan, kita tahu, mereka adalah klub-klub legendaris tanah air dan berbasis di kota-kota besar.
Saya menyebut itu kebanggaan tak terkira karena saya teringat sebuah adegan di film Cidade de Deus alias City of God saat Buscape, karakter utama di film tentang kehidupan di salah satu favela di Rio de Janeiro tersebut, mendapat tumpangan dari seorang pria asal Sao Paulo.
“Anda dari Sao Paulo?” tanya Buscape
“Ya,” jawab si pria yang memberi tumpangan.
“Anda pasti orang kaya,” ujar Buscape lagi.
Di Brasil, Anda tahu, Sao Paulo dikenal sebagai pusat perekonomian. Ada sinisme atau kecemburuan umum yang berkembang di Negeri Samba itu, seperti tersirat dari pertanyaan Buscape, yang menganggap siapa saja yang berasal dari metropolitan berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa tersebut pastilah mapan secara finansial.
Dan, Brasileiro dari luar Sao Paulo hanya bisa melawan apa yang mereka persepsikan sebagai ketimpangan perekonomian itu melalui sepak bola. Maka, orang Rio, misalnya, begitu membanggakan Palmeiras yang merupakan klub paling populer di Brasil. Atau Maracana, stadion yang mendapat julukan kuil sepak bola, tempat dua final Piala Dunia digelar.
Sepak bola juga yang membuat warga Porto Alegre khususnya, dan Rio Grande do Sul, negara bagian paling selatan di Brasil, umumnya, bisa menepis stigma sebagai wilayah koboi dengan bakat membangkang. Dua klub jagoan mereka, Gremio dan Internacional, sama-sama pernah menjadi juara dunia. Dari sana pula, dari wilayah yang pernah memberontak dan memproklamirkan kemerdekaan itu, lahir Ronaldinho yang di masa jayanya seperti seorang penari balet di lapangan hijau.
Sepak bola bagi kota-kota seperti Kediri, Rio, atau Porto Alegre menjadi semacam identitas perlawanan. Atau kalau boleh mengutip James C. Scott, merupakan “senjata kaum lemah.” Sarana untuk mengentuti siapa saja yang berada di atas sana karena banyaknya uang di saku, baju tren terbaru yang dikenakan, atau mobil mengkilat yang dikendarai.
Tapi, di sisi lain, di situ pula jebakan sepak bola itu berada. Kebanggaan seperti yang melambungkan Kediri itu pada akhirnya juga membutakan. Lupa dengan keterbatasan kekuatan perekonomian dan daya dukung wilayah untuk menghidupi sebuah klub profesional di kompetisi level teratas.
Bagaimana mungkin mengharapkan Kediri yang hanya berada di urutan ke-12 dari 20 kota dan kabupaten di Jawa Timur dengan pendapatan per kapita tertinggi dalam data BPS 2013 bisa merawat sebuah klub yang kebutuhan tiap musim mencapai puluhan miliar dan terus meningkat dari waktu ke waktu ?
Dengan mengubah Persik menjadi sebuah PT dan mengoperasikannya murni sebagai entitas bisnis ? Anda pasti tahu betapa konyolnya harapan tersebut. Sudah dua dekade Liga Indonesia berjalan, klub-klub peserta hanya bisa hidup dari saweran donatur atau kebaikan hati para owner yang bergelimang duit.
Antusiasme penonton memang tinggi. Tapi, sulit berharap para sponsor bisa antusias menjalin kerja sama kalau tiap musim liga kita tak pernah lepas dari berbagai kebrengsekan. Plus absennya transparansi pengelolaan keuangan.
Karena itu, dicoretnya Persik Kediri dan Persiwa Wamena dari Indonesia Super League 2015, barangkali, adalah blessing in disguise. Sebuah kesempatan berefleksi bagi kedua tim itu, maupun klub-klub lain: benarkah mereka mampu menghidupi diri secara profesional ?
Toh kebanggaan bagi sebuah kota bisa datang dari mana saja. Salatiga, contohnya, tak punya klub profesional. Tapi, orang selamanya akan mengenang diklat di kota kecil nan dingin di Jawa Tengah itulah yang telah menelurkan Kurniawan Dwi Julianto, Gendut Doni, dan Bambang Pamungkas.
Langkah itu pula yang ditempuh Desportivo Brasil. Klub yang berdiri di Porto Feliz, sebuah kota kecil di Negara Bagian Sao Paulo itu, memilih berkonsentrasi pada pembinaan pemain muda, bukan prestasi di liga. Hasilnya, mereka sukses menggaet sejumlah klub besar Eropa untuk berkolaborasi sekaligus pasar buat mendistribusikan pesepak bola hasil didikan.
Untuk apa sebuah kota memaksakan diri mengelola sebuah klub sepak bola profesional kalau yang lebih banyak tersedia di wilayah mereka justru bakat-bakat di bulu tangkis, bola voli, basket, dayung, atau renang, misalnya? Menelurkan atlet yang bisa merebut medali di SEA Games—apalagi Asian Games dan Olimpiade—tak kalah membanggakan (atau malah mungkin jauh lebih membanggakan) ketimbang memiliki tim yang berlaga di ISL tapi di-uri-uri dengan cara yang tak rasional.
Jadi, pencoretan dari ISL bukanlah kiamat bagi Kediri. Justru kesempatan untuk menentukan sikap dan prioritas. Mengambil keputusan yang disesuaikan dengan kemampuan diri adalah sebuah pilihan bermartabat yang juga bisa membanggakan warga kota, meski mungkin sosok sekaliber Ahn Jung-hwan tak akan mampir lagi ke sana.
(Tatang Mahardika/JawaPos) Kediri 99out of 100 Review of : VivaPersik Jumlah Voting : 9999 Orang. Kediri Kuliner Prediksi Bola Jersey