Dilema Busana Jokowi - Oleh: Jean Couteau
Joko! Aku kini tak tahu bagaimana memanggil kau. Tetapi, mumpung kau masih capres saja, belum resmi menjadi presiden, aku tetap menyebut kau, ya! Dengan istilah ”kau” itu lebih akrab, dan lebih bebas! Menjadi ”bebas-bersih” bagi kau tetap penting, kan?
Aku yakin bahwa di rak baju-kau masih tersimpan banyak kemeja ”berkotak-kotak” yang telah disetrika licin oleh istri kau sendiri. Aku suka gaya kau itu! Jauh lebih cocok daripada memakai setelan jas: ”bikin” panas, dan tak enak menggerakkan badan! Apalagi, bila ditambah dasi, bisa mencekik. Susah kan? Lain dengan baju kau itu, yang kerah lehernya selalu terbuka: lebih mudah bernapas, dan bisa ”memutar” kepala seenaknya. Akibatnya pikiran lebih jernih. Dan tampilan kau itu lebih pas juga: kau tampak sebagai pekerja.
Tapi Joko, terus terang, aku khawatir bahwa setelah kau selesai dilantik dan diiringi staf khusus ini dan penasihat IMF itu, kau terus ”disuruh” mengenakan pakaian yang belum tentu cocok bagi kau. Lebih baik kau tetap menjadi diri kau sendiri–si Joko yang bergaya ”wong cilik”, yang kami semua cintai itu.
Aku tahu, itu mustahil. Memang kau akan sekali-kali mengenakan beskap Jawa dan sarung, apakah di rumah atau untuk Jumatan. Tetapi selebihnya, untuk bekerja, apa yang kau akan kenakan? Baju kotak-kotak andalan kau itu? Mungkin, tapi kau akan dianjurkan tampil berwibawa. Akan ditawari bermacam-macam jas kebesaran. Di situ bisa muncul kesulitan kau, Joko, bila tidak pinter, apalagi bila lupa diri!
Aku sudah bisa membayangkan gelagat cecunguk-cecunguk yang bakal mendekati kau untuk menawarkan kau busana yang ’keren’. Akan ada yang berhidung mancung, yang berlagak polos nan suci dan lain-lain sejenisnya. Mereka kini sudah siap ”mengantre”, siap menawarkan kau potongan setelan ini dan itu, disertai aneka dasi yang warnanya indah, tetapi cekikannya tak enak.
Di antaranya pasti akan ada yang menawarkan jas yang kantongnya sengaja ditinggalkan amplop. Akan ada juga yang ingin kau bergaya longgar, atau sebaliknya berpakaian ketat nan kaku. Bahkan akan ada juga yang coba memaksakan busana afkiran pra-1998. Karena itu, kau akan susah menentukan pilihan yang pas. Semua akan dikatakan kuat dan elegan, dan kalau mahal, dicap bermutu ”internasional”.
Pasti kau bingung. Maka, sebelum menentukan pilihan, bukalah dulu kancing depan setelan jas kau itu, renggangkan dasi—dan bernapaslah lebar-lebar sambil menengadah ke atas. Kau akan lebih mudah memilih jas kebesaran yang betul-betul cocok bagi diri kau–apalagi bila di bawahnya kau tetap memakai baju kotak yang khas itu. Aku serius, loh!
Tetapi, sekali lagi, Joko, maafkan kelancangan aku, karena aku ada kekhawatiran lain. Baju kotak-kotak kau memang mewakili dirimu dengan baik, tapi sebenarnya tak cukup pula. Dengan baju itu, kau telah dapat bertemu dengan ”Ibu Heli tukang cuci dari Manado”, ”Pak Abdullah nelayan dari Belawan” atau ”Pak Asep yang guru di Jawa Barat” itu–orang yang telah kau sendiri catat namanya. Mereka mengenal kau, dan menghormati kau dan baju kau.
Aku bisa menebak mereka juga nyoblos nomor pencalonan kau. Tetapi sebenarnya ada juga kelompok warga yang tak kurang penting kau perhatikan. Oh… bukan wong cilik yang bisa membeli baju berkotak-kotak, tetapi justru mereka yang tak mampu membedakan antara baju itu dan baju jas berdasi. Kaum yang kadang teriak, tapi tak pernah bersuara. Mereka yang ’kere’ yang juga dapat diiming-imingi uang untuk menyoblos siapa saja. Maka setiap kau ragu, Joko, setiap kali dikeroyok cecunguk-cecunguk, pikirkanlah mereka semua yang tak ”mencintai” kau ini, tetapi yang wajib kau cintai, apa pun busana yang kelak kau pakai.
Bila kau berhasil, siapa tahu, kau akan mampu menyulap angan-angan kita menjadi realita yang nyata. Wallahualam.